Israel Palestina

Terperangkap dalam konflik lama, Israel-Palestina, berjuang antara harapan dan keputusasaan, meninggalkan luka dan tragedi yang mendalam.

Israel Palestina

Dari tanah yang penuh sejarah dan ketegangan, muncul konflik yang melanda seluruh dunia. Di tengah-tengah Timur Tengah yang penuh dengan warna budaya dan kepercayaan, terbentang medan pertempuran yang tak kunjung usai. Konflik antara Palestina dan Israel bukan hanya sekadar perselisihan teritorial. Ini adalah cerminan dari pertarungan panjang antara harapan dan keputusasaan, antara hak dan kekerasan. Dua bangsa dengan klaim atas tanah yang sama, namun dengan impian yang berbeda. Di satu sisi, ada harapan akan kemerdekaan dan pengakuan. Di sisi lain, keinginan untuk keamanan dan keberlanjutan. Dari perang-peperangan yang merobek-robek tanah hingga perjuangan harian di jalan-jalan kota yang dipenuhi dengan ketegangan, konflik ini telah menelan banyak korban dan meninggalkan luka yang mendalam. 

Di balik serangkaian keputusan politik dan peristiwa bersejarah, tersembunyi kisah-kisah pribadi tentang penderitaan, kehilangan, dan keberanian. 

Dalam detik-detik yang tegang dan konflik yang terus berlanjut, kita terus mencari jalan keluar menuju perdamaian. Namun, di antara tembakan dan seruan, suara-suara kemanusiaan sering kali terabaikan. Melalui sudut pandang yang beragam dan pengalaman yang berbeda, mari kita jalin pemahaman yang lebih dalam tentang akar dan dampak dari konflik ini.

Pada masa Perang Dunia I, Inggris dan Perancis berhasil mengalahkan The Ottoman Empire Kekaisaran Utsmaniah di Timur Tengah, dan menguasai wilayah-wilayah yang terbagi untuk dikuasai Inggris dan Perancis . Inggris dan Prancis membuat satu perjanjian rahasia, yang bernama Perjanjian Sykes-Picot. Perjanjian ini membagi wilayah-wilayah menjadi beberapa zona, zona A wilayah-wilayah yang dikuasai Perancis termasuk Suriah dan Lebanon, Zona B, wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Inggris termasuk Palestina dan Mesopotamia yang sekarang adalah Irak, yang selanjutnya Zona Kepentingan, ini merupakan wilayah-wilayah yang akan berada di bawah pengaruh kedua negara ini. 

Wilayah Palestina yang berada di bawah kekuasaannya Inggris, didominasi oleh orang Arab dengan minoritas orang Yahudi dan beberapa kelompok etnis lainnya. Namun, di dunia internasional sedikit ada konflik yang memanas, terutama berhubungan dengan kaum Yahudi. Akhirnya komunitas internasional meminta Inggris membangun rumah bagi orang-orang Yahudi di Palestina. 

Di tahun 1917 menteri luar negeri Inggris yang bernama Arthur Balfour mengirimkan surat kepada tokoh Yahudi Inggris Lionel Walter Rothschild dan dia berjanji bahwa dia akan mendirikan rumah bagi bangsa Yahudi di Palestina. Surat ini dikenal sebagai deklarasi Balfour.

Dan di antara 1923 sampai 1948 Inggris mendukung perpindahan besar-besaran orang Yahudi ke Palestina. Kedatangan besar-besaran orang Yahudi ke Palestina ini tentunya memicu ketegangan warga setempat, karena kalau kalian ingat bahwa mayoritas penduduk palestina adalah orang-orang Arab, mereka khawatir ada perubahan demografi, ditambah lagi Inggris telah secara agresif merampas tanah. Ini bukan bicara soal agama, tapi warga-warga Palestina yang sudah lama tinggal, disita lahan mereka untuk diberikan kepada para pendatang. 

Dari tahun 1936 sampai 1939 terjadi pemberontakan yang cukup besar terhadap kolonialisme Inggris dan kedatangan pendatang-pendatang ini. Inggris merespons dengan penindasan yang cukup brutal, termasuk penangkapan massal dan penghancuran rumah-rumah warga lokal Palestina. Ribuan orang tewas dalam pertempuran ini, menewaskan sekitar 2.000 orang palestina, 108 orang itu di gantung dan sisanya diakhiri hidupnya, mereka berkata bahwa orang orang ini patut dihabisi karena dianggap telah melakukan tindakan terorisme. 

Inggris lalu menggandeng komunitas Yahudi yang baru saja tiba dan juga mereka yang dulunya minoritas untuk membentuk kelompok-kelompok bersenjata seperti Special Night Squad untuk melawan pemberontakan. Mereka juga membantu mendirikan pasukan pertahanan Israel yang bernama Haganah dan dalam konflik ini lagi-lagi ribuan warga Palestina kehilangan nyawa mereka. 

Mungkin kalian tahu apa yang terjadi di antara tahun 1945 sampai 1947 yang terjadi di Eropa, tepatnya satu tragedi yang sangat-sangat tragis, The Holocaust, di mana kaum Yahudi dibabat habis di Jerman. Nazi Jerman pada saat itu mencoba untuk melakukan genosida dan mengakhiri semua orang Yahudi pada saat itu. Tentunya Kaum Yahudi mencoba melarikan diri dari tragedi yang mengerikan, banyak Kaum Yahudi yang kehilangan rumah mereka, kehilangan keluarga mereka dan melarikan diri dari Jerman ke negara-negara lain. 

Mengetahui bahwa Palestina pada saat itu di bawah kuasaan Inggris, tidak sedikit dari korban-korban Holocaust mencoba beremigrasi ke Palestina. Di kapal-kapal mereka terpasang spanduk yang bertuliskan "Jerman menghancurkan keluarga dan rumah kami. Jangan kau hancurkan harapan-harapan kami". Mengetahui tragedi yang terjadi di Jerman, warga Palestina banyak yang menerima para korban-korban Holocaust, beberapa menerima dengan lapang hati, sebagian harus terpaksa karena negaranya masih teregulasi oleh Inggris. 

Setelah kejadian itu, populasi kaum Yahudi di Palestina mencapai 33% dan hanya memiliki 6% tanah di wilayah Palestina. Inggris kemudian bertanya pada PBB tentang pembagian wilayah pendatang Yahudi dan penduduk Lokal Palestina. PBB pun mengadopsi resolusi 181 yang menganjurkan pembagian wilayah Palestina menjadi Negara Arab dan Yahudi, sedangkan kota suci Yerusalem dan Betlehem akan ada di bawah naungan PBB. Sebelumnya, Palestina memiliki 94% dari wilayah, dan jumlah penduduk mereka mencapai 67% dari semua orang yang ada di Palestina. Tentunya mereka menolak rencana ini, karena kalau benar-benar terjadi pembagian wilayah, 55% dari wilayah Palestina akan diberikan pada Yahudi dan wilayah yang diberikan juga merupakan wilayah-wilayah pesisir yang subur, sementara pada saat itu kaum Yahudi masih menjadi minoritas dan masih lebih banyak penduduk Arabnya. 

Pembagian 55% untuk mereka terdengar tidak adil. Mereka menolak, karena ini akan mengganggu hak-hak warga mayoritas Arab di Palestina. Rencana PBB tidak hanya ditolak warga Arab, tapi juga ditolak kaum Yahudi karena tidak mendapat kota Yerusalem. 

Pembagian ini masih belum selesai! di tanggal 14 Mei tahun 1948 sehari sebelum mandatnya Inggris itu selesai, David Ben-Gurion yang merupakan ketua Yishuv, komunitas Yahudi di Palestina mendeklarasikan berdirinya Negara Israel di hadapan 250 undangan di Museum Tel Aviv. Dalam deklarasi itu, David sama sekali tidak menyebutkan batas-batas wilayah negara Israel, sejumlah catatan menyebut bahwa para pendiri Israel sepakat untuk tidak menyebut batas batas yang ada, karena negara-negara Arab di sekitar Israel pasti tidak akan setuju.

Sehari setelah proklamasi, pasukan zionis memulai operasi militer untuk menghancurkan kota dan desa di Palestina, sekitar 530 desa dan kota hancur, ini mengakibatkan korban jiwa sampai 15.000 jiwa, hal ini mereka lakukan hanya untuk memperluas perbatasan negara yang baru mereka bentuk. Warga Palestina menyebut peristiwa ini sebagai Nakbah atau bencana. 

Dalam peristiwa yang sama 750.000 warga Palestina Arab terusir dari rumah dan tanah kelahiran mereka. Pemerintah Israel menolak klaim bahwa warga Palestina mengenai Nakbah, sampai kata-kata Nakbah sendiri itu dihapus dalam semua buku pelajaran sekolah di Israel. 

Antara tahun 1947 sampai 1949, Zionis sudah merebut 78% dari wilayah Palestina, sementara 22% sisanya dibagi menjadi wilayah yang sekarang adalah West bank dan jalur Gaza. Setelah Nakbah, setidaknya 150.000 warga Palestina itu tetap tinggal di Israel atau daerah yang dikuasai Zionis. Mereka hidup di bawah pendudukan militer yang dikontrol ketat selama hampir 20 tahun sebelum mereka akhirnya diberikan kewarganegaraan Israel. 

Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel kembali menduduki sisa wilayah bersejarah di Palestina, termasuk jalur Gaza, West Bank, Yerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan di Suriah dan Semenanjung Sinai di Mesir. Peristiwa Israel melawan koalisi tentara Arab ini disebut perang 6 hari. Perang ini dilihat warga Palestina sebagai pemindahan paksa yang kedua atau Naksa yang artinya Kemunduran. 

Pada bulan Desember 1987, warga Palestina melakukan perlawanan massal di Jalur Gaza. Aksi ini terjadi karena ada empat orang Palestina yang terbunuh, saat sebuah truk Israel menabrak dua mobil Van yang membawa pekerja Palestina. Perlawanan ini menyebar dengan cepat ke West Bank, di mana pemuda-pemuda Palestina melempari tank Israel dengan batu. Hal inilah yang awalnya memulai gerakan Hamas, sebuah gerakan yang menentang pendudukan Zionis di wilayah Palestina. 

Hamas, yang mulanya dari gerakan pemberontakan kecil, kini menjadi partai politik. Tetapi semua sisi jatuhnya hanya politik, Israel juga tidak bisa berdiri sekuat itu tanpa dukungan dan bantuan dari Inggris serta Amerika. 

Perlawanan pertama berakhir, setelah kesepakatan Oslo di tanda tangani di tahun 1993 dan dibentuknya Otoritas Palestina yaitu sebuah pemerintahan sementara yang diberikan kekuasaan terbatas di West Bank dan jalur Gaza. Otoritas Palestina itu yang seharusnya memberikan jalan bagi pemerintah Palestina untuk menjalankan negara mereka, itu tidak pernah terjadi sama sekali. 

Di tahun 2000 sampai 2004 kedua negara ini masih bentrok. Dan Sampai di tahun 2005 perlawanan kedua berakhir. Pemukiman Israel yang ada di Gaza akhirnya dibongkar. Tentara Israel bersama kaum Yahudi lainnya meninggalkan daerah tersebut, dan pada waktu itu tersebar luas video-video kaum Yahudi yang terlihat jelas harus meninggalkan tempat yang mereka tinggali, dan itu memicu reaksi internasional. Dimana dengan adanya video-video yang tersebar luas, orang-orang merasa iba pada kaum Yahudi. 

Di tahun 2006, rakyat Palestina melakukan pemilihan umum, dan Hamas menang. Tapi masalah di Palestina bukan hanya perang melawan Israel, tetapi juga perang saudara, karena dengan tidak adanya pemerintahan yang jelas, akhirnya memicu munculnya pemberontakan yang bisa melawan satu sama lain. Hamas dan Fatah yang sempat perang saudara sampai ratusan warga Palestina juga menjadi korban.

Israel, yang mengetahui ada partai oposisi, mendapatkan alasan untuk menyerang Hamas. Israel telah melancarkan empat serangan militer berkepanjangan di Gaza yaitu di tahun 2008, 2012, 2014 dan 2021. 

Serangan-serangan itu tentunya tidak hanya ke Hamas, tetapi juga ke ribuan warga sipil, merusak puluhan ribu rumah, sekolah, gedung perkantoran dan fasilitas umum lainnya. 

Perebutan wilayah Yerusalem Timur, pada tanggal 10 Mei 2021, Israel menyerang kawasan masjid Al-Aqso. Setelah sekitar 11 hari berperang, Israel dan Palestina menyepakati gencatan senjata.

7 Oktober 2023 tepatnya pada pukul 6.30 pagi, Hamas menyerang Israel dengan menembakkan ribuan roket, Kubah Besi Israel gagal menahan serangan ini. Sehingga sekitar 1400 orang Israel tewas dan 4562 orang lainnya mengalami luka-luka. Pihak Israel menanggapi bahwa ini adalah keadaan waspada perang dan melakukan serangan balik kepada Hamas serta pengepungan menyeluruh terhadap wilayah Gaza.

Menteri Pertahanan Israel yoav gallant mengatakan bahwa selama pengepungan di Gaza tidak ada listrik, makanan, dan air, semua akses di tutup! Tetapi Israel tidak hanya menyerang pasukan Hamas, mereka juga menyerang kota Jenin di West Bank yang tidak ada Pasukan Hamas sama sekali. 

Israel juga secara spesifik menyerang rumah sakit, sekolah, rumah ibadah dan berbagai fasilitas umum, yang mengakibatkan warga sipil, mulai dari bayi, anak-anak, sampai orang dewasa menjadi korban. Dan dengan ini Israel melanggar Konvensi Geneva yang sudah mereka tanda tangani sendiri. 

Konvensi Geneva merupakan bagian dari hukum internasional yang juga dikenal sebagai hukum kemanusiaan dalam konflik bersenjata. Tujuan konvensi ini adalah untuk menjadi ukuran standar dalam memperlakukan korban perang, seperti warga sipil, tawanan perang dan tentara yang berada dalam kondisi tidak mampu berperang. 

Tidak hanya Konvensi Geneva yang sudah mereka langgar, Israel juga dinilai telah melanggar hukum internasional tentang hak asasi manusia atau Statuta Roma 1998. Dari pasal yang ada, Israel sudah jelas melanggar dua pasal, yaitu pelanggaran perang dan pelanggaran kejahatan kemanusiaan. 120 Negara anggota PBB sepakat, agar Israel dan Palestina melakukan gencatan senjata. 

Tetapi hal ini ditanggapi sebaliknya oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan gencatan senjata tersebut sama artinya agar Israel menyerah kepada Hamas, menyerah kepada terorisme dan barbarisme, itu tidak akan pernah terjadi. 

TAMAT

Okupasi Israel di Palestina pada saat ini sudah berlangsung untuk waktu yang sangat lama. Didasari oleh banyak faktor. Ini sudah saya rangkum dengan cara yang paling simpel. Karena memang ini adalah masalah yang sangat rumit untuk dipecahkan. Masalah yang kita bahas tadi adalah masalah politik, penjajahan, okupasi dan juga genosida. Dimana jika kalian lihat semakin lama, daerah yang dikuasai oleh Israel terus menggerus Palestina, yang bahkan mereka tidak akui. 

Kita tidak terlalu membahas masalah agama, ada hal-hal yang mendasari kepercayaan dari berbagai pihak, bahwa tanah Palestina itu harusnya dimiliki oleh kaum tertentu, dijanjikan oleh kaum tertentu, dan itu sepertinya ranah yang sudah terlepas dari masalah kemanusiaan yang kita punya hari ini. 

Yang dilakukan Israel kepada warga Palestina, bukan lagi masalah agama, bukan masalah janji dari kitab manapun. Bahkan saya yakin, bahwa tidak ada agama yang mengesahkan apa yang mereka lakukan saat ini kepada warga sipil Palestina. 

Berdiri melawan pihak oposisi, mereka yang menjajah, bukan berarti kita antisemit. Terminologi yang sering sekali dilemparkan ketika kita membahas tentang masalah Palestina ini. Penjajahan semestinya sudah tidak ada tempatnya di tahun ini ,apalagi genosida, penghapusan satu Ras, satu negara dengan cara yang sangat-sangat brutal. 

Orang lanjut usia bahkan sampai anak-anak yang semestinya masih ada di bangku sekolah, sampai yang baru membuka mata mereka dan mengenal kehidupan. 

Jika untuk sebagian orang, ini masalah agama, dan kalian menjerit karena saudara seiman kalian tersakiti, terlepas dari agama seharusnya satu dunia menjerit karena tidak masuk akal untuk mendukung penjajahan, terutama untuk kita di benua-benua yang dulu pernah dijajah. 

Cerita-cerita mengerikan yang masih membekas sampai hari ini, mestinya sudah cukup untuk menjelaskan ke kita semua, di sisi mana kita harus berdiri.

Oleh: Rifaldo_Ef